Artikel ini membahas argumen Presiden Prabowo Subianto yang menekankan biaya mahal dan inefisiensi pemilu langsung, termasuk pemilihan kepala daerah. Meskipun Presiden mengutip contoh negara lain yang efisien, artikel ini berpendapat bahwa fokus seharusnya pada menciptakan sistem pemerintahan daerah yang berorientasi pada publik, mendapat pengawasan yang kuat, dan berkinerja tinggi.
Pemilihan umum tidak langsung, termasuk pemilihan kepala daerah, bukan hal baru. Bahkan, puluhan tahun pernah menjadi praktik politik di Tanah Air. Kehendak merestorasinya kini diapungkan dengan menyegarkan narasinya.), Presiden Prabowo Subianto memberikan tekanan pada argumen baru tetapi lama: biayanya mahal, tidak efisien., 12/12/2024).
Terkait efisiensi, Presiden Prabowo juga menyebut Malaysia, Singapura, dan India sebagai contoh negara yang efisien. Yang mungkin dilupakan, ketiga negara tersebut menganut sistem parlementer di mana kepala pemerintahan dipilih melalui parlemen dan hal yang sama berlaku pada tingkatan wilayah yang lebih rendah.Dalam kasus India, pemilihan kepala daerah langsung terjadi di tingkatan kota, sementara gubernur negara bagian ditunjuk oleh pemerintah pusat .
Di sisi lain, pilkada langsung menjadi instrumen untuk mendorong penguatan kepemimpinan lokal, mempermudah dan mengoherensikan kebijakan dan oleh karenanya bisa meningkatkan kinerja dan tata kelola pemerintahan lokal .Dari uraian di atas, argumentasi mahal atau tidak efisien, kurang meyakinkan sebagai motif aslinya. Sepuluh tahun lalu, di halaman ini penulis menilai bahwa upaya menerapkan kembali pilkada tak langsung sebagai upaya politik menggusur daulat rakyat dan mengembalikan daulat elite.
Kedua, menilik kecenderungan otonomi daerah yang terus digerus selama beberapa tahun terakhir, ada tendensi restorasi pilkada tak langsung merupakan bagian untuk memperkuat sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan. Meski masih jauh dari otoritarianisme, norma standar demokrasi sudah banyak dan terus dilanggar. Karena itu, Indonesia sudah lebih dekat dengan apa yang dikategorikan Levitsky dan Way sebagai rezim otoritarian kompetitif. Proses politik setahun terakhir di Tanah Air kian menegaskan kecenderungan ini .Bagi para pembenci dan atau pembegal demokrasi, otoritarian kompetitif bukanlah situasi yang ideal. Pasalnya, peluang pembalikan ke arah konsolidasi demokrasi masih terbuka.
Problemnya pada kemauan politik dan juga adanya benturan kepentingan. Terkait ini, hukuman terhadap pemberi dan penerima diperberat, termasuk mendiskualifikasi pasangan calon dan menghapus hak pilih penerima pada pilkada tahun berjalan. Akhirnya, revitalisasi politik di level parpol maupun pemilih. Yang disebut pertama berkaitan dengan demokratisasi internal, termasuk mengartikulasi aspirasi konstituen dalam menyeleksi kandidat. Yang disebut belakangan membangun budaya sumbangan dana kampanye dari pemilih. Saat ini, kedua hal itu, jikapun ada, sekadar formalitas dan atau untuk kebutuhan pencitraan belaka.
Dalam politik, efisiensi memiliki pengertian berbeda. Menurut telaahan Novak dan Retter , pengertian efisiensi mengacu pada kapasitas kandidat terpilih untuk bertindak dan kinerja sosio-ekonominya. Sebagai penegas, orkestrasi merestorasi pemilihan kepala daerah tak langsung berlawanan dengan tren global.
Bagi kaum elite, rakyat tidak kompeten, bodoh, dan mudah dimanipulasi . Penilaian itu kini tetap berlaku, tetapi kiranya dibutuhkan elaborasi lebih lanjut. Ketiga, ilusi kekuasaan dan risiko yang terukur. Pilkada tak langsung lebih mudah dikendalikan. Persisnya, diandaikan ada skenario penjatahan pemenang untuk tiap daerah. Ini pilihan yang menyenangkan: usaha minimal hasil maksimal.
Pemilihan langsung membuka pintu bagi hadirnya figur alternatif yang bisa menjadi lokomotif baru demokratisasi Indonesia. Oleh karena itu, mereka berkepentingan untuk melucuti setiap instrumen yang memungkinkan pemulihan demokrasi. Pada tataran kelembagaan, setidaknya ada tiga agenda pembaruan yang perlu dikedepankan untuk menghadirkan efisiensi dalam pengertian politik.
PEMILU LANGSUNG Efisiensi Biaya Pemerintahan Daerah Demokrasi
Indonesia Berita Terbaru, Indonesia Berita utama
Similar News:Anda juga dapat membaca berita serupa dengan ini yang kami kumpulkan dari sumber berita lain.
Gus Miftah Pernah Sindir Prabowo di Pemilu 2019, Netizen Langsung Sebut PenjilatJejak digital Gus Miftah menyindir Prabowo Subianto di Pemilu 2019.
Baca lebih lajut »
Pemakzulan Presiden Korsel: Pendukung Sebut Pemilu Dicurangi, Oposisi Pro-KorutPendukung Presiden Korsel Yoon Suk Yeol berdemo menentang pemakzulan, menyebarkan teori konspirasi kecurangan pemilu dan infiltrasi pro-Korut di oposisi.
Baca lebih lajut »
Putusan MK tentang Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Jadi Pedoman Revisi UU PemiluPakar hukum pemilu Titi Anggraini menekankan pentingnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebagai pedoman saat merevisi Undang-Undang Pemilu. Ia berharap DPR tidak mendistorsi putusan MK ini dan mengimbau Presiden Prabowo Subianto untuk menjadi garda terdepan dalam menegakkan putusan tersebut.
Baca lebih lajut »
MK Ditimbang Pisahkan Pemilu Nasional dan LokalAhli pemilu menyarankan pemilu daerah dilaksanakan dua tahun setelah pemilu nasional untuk menciptakan pemerintahan yang efektif.
Baca lebih lajut »
Presiden Prabowo Serukan Persatuan Muslim dan Straits Times Sebut 'Presiden Kebijakan Luar Negeri Pertama'Berita ini membahas pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto tentang pentingnya persatuan antarnegara Muslim dan julukan yang diberikan oleh Straits Times kepada Prabowo sebagai 'presiden kebijakan luar negeri pertama' Indonesia.
Baca lebih lajut »
Soal Kepala Daerah Dipilih DPRD, Perludem: Tak Cocok, Asas Otonomi Daerah Bisa HilangPresiden Prabowo Subianto sebelumnya mewacanakan perubahan sistem pilkada dari pemilu langsung ke pemilihan oleh DPRD.
Baca lebih lajut »