Pembahasan mengenai metode kodifikasi dan omnibus mencuat dalam rencana revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Dua metode ini memiliki perbedaan dalam proses pembentukan UU, yaitu kodifikasi yang menyatukan beberapa UU menjadi satu dan omnibus yang mengubah aturan di berbagai UU tanpa mencabutnya. Artikel ini membahas perbedaan kedua metode tersebut serta contoh penerapannya.
Istilah kodifikasi dan omnibus kembali menjadi topik perbincangan dalam beberapa waktu terakhir. Pasalnya, kedua jenis metode pembentukan peraturan perundang-undangan itu tengah dipertimbangkan dalam merevisi Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada. Baik metode kodifikasi maupun omnibus sejatinya dapat dilakukan dalam pembentukan UU. Kedua metode itu juga pernah dipakai dalam pembentukan beberapa UU di Indonesia.
Sebut saja UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kini diperbarui menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Pembuatan UU yang pernah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi itu menggunakan metode omnibus karena mengubah aturan di 75 undang-undang tanpa mencabut satu undang-undang tertentu. Kalau aturannya terpisah-pisah seperti dalam omnibus Cipta Kerja, substansinya dikhawatirkan akan menjadi tercecer-cecer dan tidak konsisten satu sama lain karena masih menyisakan eksistensi aturan di UU yang lain. Sementara UU yang dibuat menggunakan metode kodifikasi salah satunya adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. UU tersebut merupakan kodifikasi dari tiga UU, yakni UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, serta UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota Legislatif. Seusai pelaksanaan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024, pembentuk undang-undang bersepakat untuk merevisi UU No 7/2017 tentang Pemilu serta UU No 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Rencana revisi kedua UU tersebut juga ditegaskan dengan memasukkannya dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.Perbincangan pun terus berkembang mengenai metode apa yang akan digunakan untuk merevisi kedua UU tersebut. Muncul dua opsi, yakni menggunakan metode kodifikasi seperti saat membentuk UU No 7/2017 atau metode omnibus seperti yang digunakan saat membuat UU Cipta Kerja. Lantas, apa perbedaan antara metode kodifikasi dan omnibus? Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan, secara sederhana, metode kodifikasi digunakan untuk membahas topik yang sama di undang-undang yang sama. Metode kodifikasi juga diatur di lampiran angka 68 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Metode kodifikasi digunakan jika peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, atau beberapa pasal, yang dapat dikelompokkan menjadi buku, bab, bagian, dan paragraf. Charles mencontohkan apabila metode kodifikasi digunakan untuk merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Maka, pembentuk UU harus mencabut UU Pemilu dan UU Pilkada, kemudian melahirkan UU baru yang isinya mengubah sebagian substansi UU Pemilu serta memasukkan ketentuan dari UU Pilkada menjadi satu kesatuan bab. Metode ini sama seperti yang digunakan ketika membuat UU No 7/2017 tentang Pemilu. Ketiga UU tentang pemilu, yaitu UU Pilpres, UU Penyelenggara Pemilu, dan UU Pileg, disatukan dan disederhanakan menjadi satu UU sebagai landasan hukum bagi pemilu serentak. Berlakunya UU No 7/2017 sekaligus mencabut ketiga UU yang isinya sudah dimasukkan dalam UU yang baru. “Kalau metode kodifikasi, muncul UU baru tentang pemilu yang isinya adalah semua ketentuan tentang pemilu dan pilkada dengan perbaikan-perbaikan,” kata Charles dalam diskusi bertajuk ”Urgensi Kodifikasi UU Pemilu” yang digelar Minggu (26/1/2025). Sementara penggunaan metode omnibus diatur dalam Pasal 64 Ayat 1b UU No 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Metode omnibus digunakan dengan memuat materi muatan baru. Omnibus juga digunakan untuk mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama. Penggunaan metode omnibus juga mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama dengan menggabungkannya dalam satu peraturan perundang-undangan.Apabila metode omnibus digunakan untuk merevisi UU Pemilu, pembentuk UU akan merevisi UU Pemilu yang sebagian isinya merupakan hasil dari mencabut dan atau mengubah UU Pemilu dan UU Pilkada. Namun, UU Pemilu dan UU Pilkada yang lama tetap berlaku karena kehadiran omnibus UU Pemilu tidak mencabut kedua UU tersebut. “Jadi, ada tiga UU yang digunakan, yakni UU No 7/2017 tentang Pemilu dan UU No 10/2016 tentang Pilkada tetap berlaku, ditambah revisi UU Pemilu,” kata Charle
Kodifikasi Omnibus UU Pemilu UU Pilkada Revisi UU Politik Indonesia
Indonesia Berita Terbaru, Indonesia Berita utama
Similar News:Anda juga dapat membaca berita serupa dengan ini yang kami kumpulkan dari sumber berita lain.
Menimbang Metode Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada, Kodifikasi atau Omnibus?Perbincangan mengenai metode untuk merevisi UU Pemilu dan Pilkada terus berkembang. Muncul dua opsi, yakni metode kodifikasi dan omnibus. Apa perbedaannya?
Baca lebih lajut »
Rancangan Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada: Momentum, Substansi, dan Metode yang TepatPemerintah dan DPR sepakat memasukkan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada dalam Prolegnas Prioritas 2025. Namun, hingga saat ini belum ada tindak lanjut konkrit. Revisi ini menjadi mendesak setelah Pemilu 2024 dan Pilkada 2024, dengan berbagai masukan dan catatan dari MK, serta perlunya menyelesaikan isu politik uang dan sistem pemilu yang lebih efektif.
Baca lebih lajut »
Perludem minta UU Pemilu-Pilkada diganti dengan UU Kitab Hukum PemiluPembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta agar Undang-Undang (UU) tentang Pemilu dan UU tentang Pilkada diintegrasikan ...
Baca lebih lajut »
Perludem Sebut RUU Pemilu Mendesak untuk DibahasIa juga memberi catatan pembahasan RUU Pemilu yang merupakan kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah harus dibarengkan waktunya dengan pembahasan Revisi UU Partai Politik
Baca lebih lajut »
MK Sidangkan Sengketa Pilkada 2024 dengan Metode Sidang PanelMahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan perkara perselisihan hasil pemilihan umum gubernur, bupati, dan wali kota atau sengketa Pilkada 2024 dengan metode sidang panel. Terdapat tiga panel hakim yang akan menangani perkara-perkara tersebut. Sidang pemeriksaan pendahuluan dijadwalkan berlangsung pada tanggal 8–16 Januari 2024. Sementara itu, sidang dengan agenda mendengarkan jawaban KPU, keterangan pihak terkait, dan keterangan Bawaslu akan digelar pada tanggal 17 Januari–4 Februari 2025.
Baca lebih lajut »
MK Sidangkan Sengketa Pilkada 2024 dengan Metode Sidang PanelMahkamah Konstitusi (MK) telah memulai sidang sengketa Pilkada 2024 dengan menggunakan metode sidang panel yang terdiri dari tiga panel, masing-masing diketuai oleh tiga hakim konstitusi. Anwar Usman tidak dapat mengikuti sidang karena sakit.
Baca lebih lajut »