Warisan Kolonial di Balik Peminggiran Budaya Pangan Lokal

Indonesia Berita Berita

Warisan Kolonial di Balik Peminggiran Budaya Pangan Lokal
Indonesia Berita Terbaru,Indonesia Berita utama
  • 📰 hariankompas
  • ⏱ Reading Time:
  • 86 sec. here
  • 3 min. at publisher
  • 📊 Quality Score:
  • News: 38%
  • Publisher: 70%

Peminggiran pangan lokal merupakan bentuk hegemoni budaya yang berwatak kolonial serta merusak kemandirian dan kesehatan warga.

Mateus Sakulok , warga Dusun Rogdok, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tengah mengolah sagu bersama istri. Kegiatan menyagu saat ini hanya dilakukan warga Mentawai di pedalaman seiring semakin tingginya pergeseran konsumsi ke beras.

Para perwira Belanda itu kemudian memperkenalkan padi sawah sebagai upaya modernisasi, tetapi menuai kegagalan. Pemerintah kolonial kemudian mengundang misionaris Protestan dari Rheinische Mission, Jerman, untuk memulai ”proses peradaban” di Mentawai secara lebih sistematis. Loda wini woja, pau wini latun, wecak wini lempang, weri wini pesi, rendang wini sela, dorik wini hocuDalam kasus di Manggarai, sistem pertanian lahan kering itu digeser oleh sistem pertanian padi sawah. ”Awalnya, Belanda yang didukung gereja melakukan kampanye untuk membuka sawah di Manggarai. Padi sawah dianggap sebagai simbol kemajuan dan kemakmuran dan sebaliknya, perladangan simbol keterbelakangan,” katanya.

Dengan mengganti padi ladang ke sawah, produksi padi bertambah. Beras yang sebelumnya hanya dikonsumsi dalam upacara-upacara adat akhirnya menjadi pangan pokok sehari-hari. Namun, pada saat yang sama, aneka ragam pangan lokal yang lain, seperti sorgum dan jewawut, yang biasa ditanam bersama padi perlahan hilang. Beragam benih pangan lokal, yang kebanyakan memiliki adaptasi baik terhadap iklim NTT yang kering, menghilang.

Dibandingkan di NTT, peminggiran pangan lokal oleh beras di Mentawai di masa Orde Baru lebih keras lagi. Darmanto menyebutkan, setelah Orde Baru, upaya pencetakan sawah lebih digencarkan hingga ke pedalaman, termasuk dengan paksaan. Pada akhir tahun 1970-an, pemerintah pusat menetapkan penduduk Mentawai sebagai masyarakat terasing dan membuat program ”peradaban dan pembangunan”.

Pius juga sempat menyawah, sekalipun dengan setengah hati. Bagi masyarakat di hulu sungai ini, sagu tetap menjadi makanan pokok. Beras lebih menjadi makanan bagi anak-anak.

Berita ini telah kami rangkum agar Anda dapat membacanya dengan cepat. Jika Anda tertarik dengan beritanya, Anda dapat membaca teks lengkapnya di sini. Baca lebih lajut:

hariankompas /  🏆 8. in İD

Indonesia Berita Terbaru, Indonesia Berita utama

Similar News:Anda juga dapat membaca berita serupa dengan ini yang kami kumpulkan dari sumber berita lain.

Dangdut Warisan Budaya IndonesiaDangdut Warisan Budaya IndonesiaHarkat dan martabat dangdut setara duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan Samba, Rumba, Tango, K-Pop maupun seni-tari bangsa manapun.
Baca lebih lajut »

Anak di Lombok Barat Polisikan Ibu Kandung Akibat Sengketa Tanah WarisanAnak di Lombok Barat Polisikan Ibu Kandung Akibat Sengketa Tanah WarisanMenurut Rakyah, Saerozi telah mendapat bagian sebesar 1,5 hektar. Tapi ternyata Saerozi diam-diam membuat sertifikat tanah dan ingin menguasai seluruh tanah.
Baca lebih lajut »

Bisnis menggiurkan di balik karier 'influencer' yang kerap diremehkanBisnis menggiurkan di balik karier 'influencer' yang kerap diremehkanPara pembuat konten menghasilkan banyak uang dan menjalankan bisnis mereka sebagai influencer alias pemengaruh. Namun, pekerjaan mereka…
Baca lebih lajut »

Bagnaia: Kemenangan di Mandalika jadi titik balik usai cederaBagnaia: Kemenangan di Mandalika jadi titik balik usai cederaPembalap Ducati Lenovo Francesco Bagnaia mengungkapkan bahwa kemenangan di MotoGP Indonesia di Sirkuit Internasional Mandalika merupakan titik baliknya ...
Baca lebih lajut »



Render Time: 2025-03-13 22:47:38