PRAKTIK perbudakan rupanya masih berlangsung di Indonesia seperti ditampakkan dari para pekerja rumah tangga (PRT) yang belum mendapatkan keadilan dan kerap diperlakukan tidak manusiawi.
Berdasarkan data dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga dan Koalisi Sipil untuk UU PPRT, sepanjang 2017-2022 masih banyak kasus kekerasan yang terjadi pada para PRT.
"Saya pernah mengantarkan anak majikan ke sekolah. Di sana saya tidak boleh duduk di sebuah kursi yang kosong karena saya hanya seorang PRT. Penjaga sekolah bilang saya harus berdiri, yang boleh duduk hanya majikan," ungkapnya dalam Diskusi bersama Pemerintah, DPR, CSO, dan Media terkait RUU PPRT di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Jumat .
"Secara mekanisme RUU sudah selesai tinggal dimasukkan paripurna. Mayoritas fraksi juga menyatakan sepakat," kata Willy. "Dari klaster kedua ini harus kita lihat secara detail. Selama ini penyalur bentuknya yayasan, harusnya badan usaha. Yayasan rentan mengalami human trafficking. Jadi harus didorong badan usaha. Proses perizinan juga masih provinsi, harusnya kabupaten dan kota sehingga pengawasannya lebih terlihat," tuturnya.
"Keempat legalitas terhadap RUU PPRT ini menjadi prinsip timbal balik. Ketika kita kirimkan TKI ke luar negeri sebagai pekerja domestik, kita tuntut hak dari a-z. Tapi negara dituju akan bertanya ada UU yang mengatur terhadap hak yang diminta atau tidak. Jadi ini prinsip utama dalam hubungan antar negara dalam konteks hukum internasional," tegasnya.
Menurutnya, RUU PPRT hanya berisikan 12 bab dan 37 pasal. Regulasi ini dikatakan sangat sederhana tapi dibutuhkan untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara yang berstatus sebagai PRT.